Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah kerajaan besar di Jawa Timur yang
berdiri pada abad ke-12 tepatnya pada tahun 1042-1222 sekarang Daha . Kerajaan
ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram kuno. Pusat kerajaannya terletak di
dekat tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang
ramai. Ibukota kerajaan ini adalah Daha (yang berarti kota api), yang terletak
di sekitar kota Kediri sekarang.
Awal Berdirinya Kerajaan Kediri
Pada
tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga
berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan
kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari
Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya, Medang Kamulan mencapai
kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya, Airlangga memutuskan untuk
mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu.
Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris
tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri
Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih
menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir.
Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu
kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu)
dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat
terlihat hingga abad ke 12, dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan
makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi
Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana
gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja
– raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan
jenggala, kerajaan kembali dipersatukan dibawah kekuasaan Kediri.
Sumber Sejarah Kerajaan Kediri
Prasasti-prasasti menjelaskan
kerajaan Kediri antara lain yaitu:
- Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala.
- Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
- Prasasti Sirah Keting (1140) tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Jayawarsa.
- Prasasti yang ditemukan di Tulung Agung Kertosono, Berisi masalah keagamaan (Raja Bameswara 1117-1130 M).
- Prasasti Ngantang (1135 M) tentang Raja Jayabaya memberi hadiah rakyat desa Nganteng sebidang tanah bebas pajak.
- Prasasti Jaring (1181 M) tentang Raja Gandra yang membuat sejumlah nama-nama hewan seperti Kebo Waruga dan Tikus Janata.
- Prasasti Kamulan (1194 M) tentang Raja Kertajaya yang menyatakan bahwa Kediriberhasil mengalahkan musuh di katang-katang.
Selain dari prasasti-prasasti tersebut, ada lagi prasasti
yang lain tetapi tidak begitu jelas. Dan yang banyak menjelaskan tentang
Kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra seperti kitab Kakawin Bharatayudha
yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang
kemenangan Kediri (Panjalu) atas Janggala.
Kronik Cina juga banyak memberikan gambaran tentang
kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber lain.
Berita tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-t yang ditulis
oleh Choi-ku-fei tahun 1178 M dan kitab Chi-fan-Chi yang ditulis oleh
Chau-ju-kua tahun 1225 M.
Dan di era 2000-an terdapat penemuan situs tondowongso
tepatnya awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri.
Dalam perkembangan politiknya wilayah kekuasaan Kediri masih sama seperti
kekuasaan Raja Airlangga, dan raja-rajanya banyak yang dikenal dalam sejarah
karena memiliki lencana atau lambang tersendiri.Semua peninggalan
sejarah-sejarah tersebut diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak
tentang perkembangan Kerajaan Kediri dalam berbagai aspek kehidupan
Masa Perkembangan
Tak
banyak yang diketahui mengenai peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri.
Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan
Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan
Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis
kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang dikenal dalam kesusastraan
Jawa dengan cerita Panji. Demikian pula Mpu Tanakung mengarang kitab Kakawin
Lubdaka dan Wertasancaya
Raja
terkenal Kediri adalah Jayabaya (1135-1159). Jayabaya di kemudian hari dikenal
sebagai "peramal" Indonesia masa depan. Pada masa kekuasaannya,
Kediri memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan. Pada masa ini pula,
Ternate menjadi kerajaan subordinat di bawah Kediri. Waktu itu Kediri memiliki
armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga terkenal karena telah memerintahan
penggubahan Kakawin Bharatayuddha, yang diawali oleh Mpu Sedah dan kemudian
diselesaikan oleh Mpu Panuluh.
Raja
Kertajaya yang memerintah (1185-1222), dikenal sebagai raja yang kejam, bahkan
meminta rakyat untuk menyembahnya. Ini menyebabkan ia ditentang oleh para
brahmana. Kertajaya adalah raja terakhir dari kerajaan Kadiri.
Penemuan
Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membuka lebih banyak tabir misteri.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali
pergantian kekuasaan, adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa
kerajaan Kediri adalah:
SRI
SAMARAWIJAYA (Putra Airlangga)
Sepeninggal
Raja Airlangga dan selama kekuasaan Samarawijaya, Kerajaan Janggala dan Panjalu
tidak pernah hidup berdampingan secara damai. Perebutan kekuasaan terus
berlangsung hingga tahun 1042, Mapanji Garasakan dapat mengalahkan
Samarawijaya. Diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) dalam
Prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda
Mukha (Wisnu Naik Garuda). Namun Mapanji tidak lama memimpin Kerajaan. Tampuk
pemerintahan lalu jatuh ditangan Raja Mapanji Alanjung Ahyes (1052-1059 M) dan
kemudian digantikan lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus
menerus antara Janggala dan Panjalu menyebabkan selama kira-kira 60 tahun tidak
ada berita yang jelas mengenai kedua Kerajaan tersebut hingga muncullah nama
Raja Sri Maharaja Sri Bameswara
SRI JAYASWARA
Tidak
diketahui langsung ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya.
SRI
BAMESWARA
Raja
Sri Maharaja Sri Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri yang menggunakan lancana
Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring diatas bulan sabit. Pada masa
pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra bahkan kiasan hidupnya
yang dikenal dalam Cerita Panji.
SRI
JAYABHAYA
Bameswara
diganti oleh Sri Maharaja Sri Jayabhaya (1135-1159 M) yang menggunakan lencana
Kerajaan berupa lencana Narasingha yaitu setengah manusia setengah singa.
Pada
masa pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan dan juga banyak
dihasilkan karya sastra terutama ramalannya tentang Indonesia antara lain akan
datangnya Ratu Adil. Jayabhaya disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ketika ia
berkuasa, pertentangan dengan Janggala berakhir setelah ia dapat menguasai
Kerajaan tersebut. Atas kemenangan tersebut ia memperingatinya dengan
memerintahkan Mpu Sedah untuk menggubah Kakawin (syair) Bharatayudha
sebagai peringatan atas peperangan Kediri dan Janggala. Karena Mpu Sedah tidak
sanggup menyelesaikan Kakawin tersebut, Mpu Panuluh melanjutkan dan
menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Jayabhaya juga terkenal akan ramalannya
yang sering disebut Jangka Jayabhaya.
Meskipun
demikian, kenyataannya 2 pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabhaya,
yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh sama sekali tidak menyebut dalam
kitab-kitab mereka ( Kakawin Bharatayudha, Kakawin Hariwangsa, Kakawin
Gatotkacasraya) bahwa Prabu Jayabhaya memiliki karya tulis. Kakawin
Bharatayudha hanya menceritakan peperangan antara Kediri dan Janggala.
Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita
ketika sang Prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini,
dari negri Kundina, putri Bismaka. Rukmini sendiri adalah titisan dari Dewi
Sri.
Kakawin
Bharatayudha yang digubah oleh 2 pujangga Kediri merupakan kisah perang saudara
yang diilhami kitab Mahabharata karangan Wyasa Kresna Dwaipayana, seorang
pujangga India. Kitab tersebut mengisahkan perang perebutan takhta Kerajaan
Hastinapura di antara keluarga Kurawa dan Pandawa yang dimenangkan oleh
Pandawa.
Ramalan
Jayabhaya atau sering disebut dengan Jangka Jayabhaya adalah ramalan dalam
tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabhaya, raja Kerajaan
Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya dikalangan masyarakat Jawa yang
dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat
Jangka Jayabhaya dapat dilihat di kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri
Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait
pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwasanya Jayabhaya-lah yang membuat
ramalan-ramalantersebut. Isinya :
- Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran -- kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda
- Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang -- perahu berjalan di angkasa
- Kali ilang kedhunge -- sungai kehilangan mata air
- Sekilan bumi dipajeki -- Sejengkal tanah dikenai pajak.
- Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
SRI
SARESWARA
Sepeninggal
Jayabhaya, Kerajaan Kediri dipimpin oleh Sareswara (1159-1169 M). tidak banyak
yang diketahui mengenai raja ini sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan.
Ia memakai lencana Kerajaan berupa Ganesha.
SRI
ARYESWARA
Sepeninggal
Sareswara, Kerajaan Kediri berurut-turut dipimpin oleh Aryyeswara,
Kroncaryyadipa. Kemudian pemerintahan Kerajaan jatuh ditangan Raja Kameswara
SRI GANDRA
Terdapat
sesuatu yang menarik pada masanya. Yaitu untuk pertama kalinya didapatkan
orang-orang terkemuka mempergunanakan nama-nama binatang sebagai namanya yaitu
seperti Kebo Salawah, Manjangan Puguh, macan Putih, gajah Kuning dan
sebagainya.
SRI
KAMESWARA
Raja
Kameswara (1182-1185 M) selama beberapa waktu tidak ada berita yang jelas
mengenai Raja Kediri hingga ia muncul. Masa pemerintahan ini ditulis dalam
Kitab Kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja,
serta Kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Akung. Kitab
Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan
Wretasancaya yang berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno. Pada masa ini
perkembangan karya sastra mencapai puncak kejayaannya. Beberapa karya sastra
yang muncul selain yang disebut diatas antara lain Kitab Kresnayana, karya Mpu
Triguna ; Kitab Sumanasantaka, karya Mpu Managuna.
KERTAJAYA
Selanjutnya
pada tahun 1185-1222 M yang menjadi raja Kediri adalah Kertajaya dan raja
terakhir kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti Ria Airlangga,
sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh rakyat terutama kaum
Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara dirinya dan
para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab berakhirnya Kerajaan Kediri.
KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN KEDIRI
Kediri
merupakan Kerajaan agraris maritim. Perekonomian Kediri bersumber atas usaha
perdagangan, peternakan dan pertanian untuk masyarakat yang hidup di daerah
pedalaman. Sedangkan yang berada di pesisir hidupnya bergantung dari perdagangan
dan pelayaran. Mereka telah mengadakan hubungan dagang dengan Maluku dan
Sriwijaya. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra.
Kerajaan Kediri cukup makmur, hal ini terlihat pada kemampuan Kerajaan yang
memberikan penghasilan tetap pada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan
hasil bumi. Keterangan tersebut berdasarkan kitab Chi-fan-Chi (1225)
karya Chau Ju-kua mengatakan bahwan Su-ki-tan yang merupakan bagian dari
She-po(Jawa) telah memiliki daerah taklukkan
Golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan, yaitu :
- Golongan masyarakat pusat(kerajaan) : masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
- Golongan masyarakat tani (daerah) : golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah tani (daerah).
- Golongan masyarakat nonpemerintah : golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintahan secara resmi atau masyarakat wiraswasta.
Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang mencatat dan mengurus
semua penghasilan Kerajaan. Disamping itu ada 1000 pegawai rendahan yang
bertugas mengurusi benteng dan parit kota serta gedung persediaan makanan.
Runtuhnya
Kerajaan Kediri
Kertajaya
adalah raja terakhir kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti
Ria Airlangga, sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh
rakyat terutama kaum Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan
antara dirinya dan para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab
berakhirnya Kerajaan Kediri.
Pertentangan
itu disebabkan Kertajaya dianggap telah melanggar adat dan memaksa kaum
brahmana menyembahnya sebagai Dewa. Para Brahmana kemudian meminta perlindungan
pada Ken Arok di Singosari. Kebetulan Ken Arok juga berkeinginan memerdekakan
Tumapel (Singosari) yang dulunya merupakan bawahan Kediri. Tahun 1222 pecahlah
pertempuran antara prajurit Kertajaya dan pasukan Ken Arok di desa
Ganter. Dalam peperangan ini, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan prajurit
Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kediri, yang sejak saat
itu menjadi bawahan Kerajaan Singosari. Runtuhnya kerajan Panjalu-Kediri pada
masa pemerintahan Kertajaya dikisahkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab
Negarakertagama.
Setelah
Ken Arok mengangkat Kertajaya, Kediri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Kerajaan Singosari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai
Bupati Kediri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama
Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan oleh putranya , yaitu
Jayakatwang. Tahun 1292 Jayakatwang menjadi bupati geleng-geleng. Selama
menjadi bupati, Jayakatwang memberontak terhadap Singosari yang dipimpin oleh
Kertanegara, karena dendam di masa lalu dimana leluhurnya yaitu Kertajaya
dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang
membangun kembali Kerajaan Kediri, namun hanya bertahan satu tahun. Hal itu
terjadi karena adanya serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol
dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar